PERANAN PERBANKAN
MENGHADAPI PASAR BEBAS ASEAN
Disusun Oleh :
Nama : Ulifah saty Merianty Herlina Siahaan
Npm :
37112521
Kelas : 3DB06
UNIVERSITAS GUNADARMA
JURUSAN MANAJEMEN
INFORMATIKA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini,
mendorong pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang
bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan
modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat diragukan lagi karena
terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca
krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan,
yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya
penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala
lain yang dihadapi UMKM adalah keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang
jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum mantap. Hal ini terjadi
karena umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif
sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal
usaha dengan kebutuhan pribadi. Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi
dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai tantangan global,
seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia
dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk
menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk
asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia,
mengingat UMKM adalah
sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di
Indonesia (Sudaryanto,
2011). Pada tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan
negara
dengan menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto
(PDB) melalui
pembayaran pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha
mikro menyumbang
36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha
menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha
besar hanya menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).3 Sebagian besar (hampir 99
persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor informal dan pada
umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal. Itulah sebabnya tidak
terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar
Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang
potensial bagi negara lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM
secara maksimal. Perkembangan UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai
persoalan sehingga menyebabkan lemahnya daya saing terhadap produk impor.
Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain keterbatasan infrastruktur dan
akses pemerintah terkait dengan perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat
pungutan. Dengan segala persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi
terhambat. Meskipun UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global
namun pada kenyataannya permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak
dan lebih berat. Hal itu dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung
krisis global tadi, UMKM harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung
terselesaikan seperti masalah upah buruh, ketenaga kerjaan dan pungutan liar,
korupsi dan lain-lain.
Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi
perdagangan,
seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang
secara efektif telah berlaku tahun 2010. Disisi lain, Pemerintah telah
menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa
mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai
contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan
kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas.
Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya
ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan,
UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan
bangkrut juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental
ekonomi nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi
domestik yang kondusif dalam upaya penguatan pasar dalam negeri
agar UMKM dapat
menjadi penyangga (buffer)
perekonomian nasional. Masalah lain yang dihadapi
dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi,
khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut 4 menjadi kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena
dengan terbatasnya akses informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi
pasar dan lemahnya daya saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai
pasar tersebut, menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya
secara jelas dan fokus,
sehingga perkembangannya mengalami stagnasi. Kemampuan UMKM dalam
menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan lebih lanjut
agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu
faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil tersendiri. Strategi
pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan daya
saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu
bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan
(KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro
melalui capacity building, dan pengembangan information technology
(IT). Demikian juga upaya-upaya lainnya dapat
dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam negeri serta memberikan suntikan
pendanaan pada lembaga keuangan mikro. Keuangan mikro telah menjadi suatu
wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode untuk mengatasi
kemiskinan (ref). Berbagai lembaga multilateral dan bilateral mengembangkan
keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama. Pemerintah di beberapa negara
berkembang juga telah mencoba mengembangkan keuangan mikro pada berbagai
program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat juga tidak ketinggalan untuk
turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro (Prabowo dan Wardoyo, 2003).
1.2 Perumusan Masalah
Pasar bebas ASEAN yang akan efektif diberlakukan pada tahun 2015
merupakan
titik rawan perjuangan UMKM dan ekonomi kerakyatan. Berbagai
kemudahan
perdagangan antar negara seperti pembebasan bea impor dan
kemudahan birokrasi akan
mendorong meningkatnya impor komoditas ke negara-negara ASEAN.
Iklim
perdagangan tidak hanya akan didominasi oleh negara-negara ASEAN
saja, akan tetapi
juga perlu dipertimbangkan kehadiran China dengan produk-produknya
yang memiliki
daya saing tinggi dilihat dari harga dan kandungan teknologi. Oleh
karena itu dibutuhkan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan sumber
daya
manusia khususnya untuk menghadapi pasar bebas ACFTA.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Capacity Building
Secara umum capacity building adalah proses atau kegiatan memperbaiki
kemampuan seseorang, kelompok, organisasi atau sistem untuk
mencapai tujuan atau
kinerja yang lebih baik (Brown et. al, 2001). Capacity building adalah
pembangunan
keterampilan (skills) dan kemampuan (capabilities), seperti kepemimpinan, manajemen,
keuangan dan pencarian dana, program dan evaluasi, supaya
pembangunan organisasi
efektif dan berkelanjutan. Ini adalah proses membantu individu
atau kelompok untuk
mengidentifikasi dan menemukan permasalahan dan menambah wawasan,
pengetahuan
dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan
melakukan perubahan. (Campobaso dan Davis, 2001) Capacity building difasilitasi
melalui penetapan kegiatan bantuan teknik, meliputi pendidikan dan pelatihan,
bantuan teknik khusus (specific technical
assitance) dan penguatan jaringan. Prinsip
yang perlu diterapkan adalah membangun keberdayaan ekonomi rakyat melalui
pengembangan kapasitas (capacity building), mencakup : 1) kelembagaan; 2)pendanaan, 3) pelayanan. Di
samping itu masalah internal yang harus dihadapi adalah masalah efisiensi,
keterbatasan SDM dan teknologi (Krisnamurthi, 2002).
2.2 Pasar Bebas Asean dan ACFTA (Asean China Free Trade Area)
Pasar bebas Asean akan diberlakukan pada tahun 2015. Hal ini
menjadikan
pemerintah Indonesia terus meningkatkan berbagai strategi untuk
menghadapinya.
Demikian juga, sejak disepakatinya perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China
(ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 mengharuskan
pemerintah
Indonesia. Pertama, apakah pemerintah Indonesia untuk melakukan
sosialisasi terhadap
publik mengenai kesepakatan ACFTA. Disamping itu pemerintah
Indonesia diharapkan
memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Terkait dengan
persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA. Sosialisasi penting untuk dijadikan
sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia sebelum ACFTA diberlakukan.
Dalam surveinya, LSI mengajukan beberapa pertanyaan terhadap publik menyangkut
ACFTA. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa hanya sebagian kecil saja publik
Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar kesepakatan/perjanjian perdagangan
bebas ASEAN-China yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010, terdapat 26,711 persen publik yang pernah
mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Dari mereka yang
pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China, mayoritas
publik (51,9 persen) mengatakan tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan
bebas.
Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik
cenderung
mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai
adanya perdagangan
bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan
ini jelas dapat
merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru
diuntungkan
dengan adanya perdagangan bebas dan bukan Indonesia. Hal penting
berikutnya terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia
menghadapi ACFTA. Dalam hal ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali
tidak mempersiapkan dirinya secara matang. Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian
MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar
dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China(ACFTA). Meskipun
pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk melakukan renegosiasi untuk 228
pos tarif produk yang berpotensi injuries
agar pengenaan bebas bea masuk dapat ditunda pelaksanaanya,
namun hal itu tidak berjalan dan Indonesia terpaksa harus terus berjalan dengan
mekanisme ACFTA. Akibatnya adalah enam produk terkena dampak langsung (injuries) karena ACFTA, yaitu industri
tekstil dan produk tekstil/TPT, makanan dan minuman, elektronik, alas kaki,
kosmetik, serta industri jamu.
2.3 Peningkatan Daya Saing Produk Indonesia
Menurut Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD)
menyebutkan bahwa daya saing adalah kemampuan perusahaan,
industri, daerah,
negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan
faktor pekerjaan
yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi
persaingan internasional.
Oleh karena daya saing industri merupakan fenomena di tingkat
mikro perusahaan, maka
kebijakan pembangunan industri nasional didahului dengan mengkaji
sektor industri
secara utuh sebagai dasar pengukurannya. Sedangkan menurut
Tambunan, 2001, tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan
internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan
komparatif (comparative
advantage) dan faktor keunggulan
kompetitif (competitive
advantage). Lebih lanjut, faktor
keunggulan komparatif dapat dianggap ebagai faktor yang bersifat alamiah dan
faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai
faktor yang bersifat acquired
atau dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua
faktor
tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga
dipengaruhi oleh apa yang
disebut Sustainable
Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya
saing
berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat
persaingan global yang
semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper Competitive.
Analisis Persaingan yang super ketat (Hyper Competitive Analysis) menurut
D’Aveni dalam (Hamdy, 2001), merupakan analisis yang menunjukkan
bahwa pada
akhirnya setiap negara akan dipaksa memikirkan atau menemukan
suatu strategi yang
tepat, agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada
kondisi persaingan
global yang sangat sulit. Menurut Hamdy Hadi, strategi yang tepat
adalah strategi SCA
(Sustained Competitive
Advantage Strategy) atau strategi yang
berintikan upaya
perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang
mengkaitkan 5 lingkungan
eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka pendek maupun
jangka panjang,
dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan sustainable real
income secara efektif dan efisien. Menurut
The Global Competitiveness Report, tahun 2011 peringkat daya saing Indonesia mengalami penurunan
menjadi 46 dibanding tahun 2010 yang berada di posisi Hal ini menuntut perlunya
dilakukan kaji ulang terhadap kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang
dilakukan selama ini. Kementerian dan lembaga yang membidangi setiap pilar dan
indikator yang mengalami penurunan peringkat perlu bekerja lebih dari biasa
untuk menaikkan peringkat pada masing-masing indikator dan pilar daya saing
tersebut. Selain itu, berbagai faktor umum yang menghambat peningkatan daya
2.4 Agency Theory
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap
memperhitungkan
kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan
seperangkat aturan yang
mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa
keuntungan, return maupun
risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak
kerja akan menjadi optimal
bila kontrak dapat fairness
yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan
agen
yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang
optimal oleh agen
dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari
prinsipal ke agen. Inti
dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk
menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi
konflik kepentingan
(Scott, 1997); (Loudon and Loudon, 2007). Menurut Eisenhard
(1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi
tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang
informasi. Teori Keagenan dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut :
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Posisi UMKM Dalam Pasar Bebas Asean
Dalam rangka menuju Pasar Bebas Asean 2015, masih banyak peluang
UMKM
untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna memanfaatkan
peluang tersebut,
maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di Indonesia menghadapi
Pasar Bebas Asean
adalah bagaimana mampu menentukan strategi yang tepat guna
memenangkan
persaingan. Saat ini, struktur ekspor produk UMKM Indonesia banyak
berasal dari
industri pengolahan seperti furniture, makanan dan minuman,
pakaian jadi atau garmen,
industri kayu dan rotan, hasil pertanian terutama perkebunan dan
perikanan, sedangkan
di sektor pertambangan masih sangat kecil (hanya yang berhubungan
dengan yang batubatuan, tanah liat dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM
antara lain alat-alat
rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya
dari kulit, kerajinan
dari kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang
dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang
kayu/tempurung, makanan
ringan dan produk bordir. Sedangkan bahan baku produksi UMKM yang
digunakan
adalah bahan baku lokal sisanya dari impor seperti plastik, kulit
dan beberapa zat kimia.
Beberapa kendala UMKM yang banyak dialami negara-negara berkembang
termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan baku
yang mesti harus
diimpor dari negara lain untuk proses produksi. Disamping itu
pemasaran barang,
permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan informasi juga
merupakan
permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk masalah-masalah
non fisik
seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan lain
sebagainya. Tabel 3 di bawah
ini memperlihatkan kendala-kendala yang sering dialami negara
Asean termasuk
Indonesa.
3.2 Pentingnya Pemberdayaan UMKM
Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta orang
(menurut sensus
2010), ternyata hanya 0,24 persen adalah para wirausaha
(interpreneur), atau hanya
sekitar 400.000 orang yang berkecimpung dalam dunia usaha atau
UMKM. Padahal agar
perekonomian Indonesia dapat berkembang lebih cepat diperlukan
lebih dari 2 persen
dari jumlah penduduk sebagai wirausaha atau berkecimpung dalam
UMKM. Singapura,
sebuah negara kecil namun mempunyai 7 persen dari jumlah
penduduknya merupakan
wirausaha dan mempunyai banyak UMKM. Sedangkan Malaysia, lebih
dari 2 persen
jumlah penduduknya merupakan para interpreneur yang berkecimpung
dalam berbagai
usaha mikro.
Kebijakan
Pendapatif BeaAnti Dumping ,
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Strategi untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) di
Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran
kredit. Saat ini
skim kredit yang sangat familiar di masyarakat adalah Kredit Usaha
Rakyat (KUR),
yang khusus diperuntukkan bagi UMKM dengan kategori usaha layak,
tanpa
agunan. Selain itu penguatan lembaga pendamping UMKM dapat
dilakukan melalui
kemudahan akses serta peningkatan capacity building dalam bentuk pelatihan
dan
kegiatan penelitian yang menunjang pemberian kredit kepada UMKM.
2. Strategi untuk mengantisipasi mekanisme pasar yang makin
terbuka dan kompetitif
khususnya di kawasan Asean adalah penguasaan pasar, yang merupakan
prasyarat
untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar dapat menguasai pasar,
maka UMKM
perlu mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat, baik informasi
mengenai
pasar produksi maupun pasar faktor produksi untuk memperluas
jaringan
pemasaran produk yang dihasilkan oleh UMKM. Aplikasi teknologi
informasi pada
usaha mikro, kecil dan menengah akan mempermudah UMKM dalam
memperluas
pasar baik di dalam negeri maupun pasar luar negeri dengan
efisien. Pembentukan
Pusat Pengembangan UMKM berbasis IT dianggap mampu mendorong
pertumbuhan dan perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di
era teknologi
informasi saat ini.
4.2 Saran
1. Untuk meningkatkan daya saing diperlukan sinergi antara peran
pemerntah selaku
pembuat kebijakan serta lembaga pendamping, khususnya lembaga
keuangan mikro
untuk mempermudah akses perkreditan dan perluasan jaringan
informasi pemasaran. Selain itu, budaya mencintai produksi dalam negeri juga
perlu dipupuk
agar UMKM berkembang dan perekonomian nasional menjadi lebih kuat.
2. Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah perlu aktif untuk
bekerjasama dan
berkoordinasi dengan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk
terus
melakukan pembinaan dan pelatihan melalui peningkatan capacity building dan
penerapan aplikasi information
technology (IT), termasuk mengefektifkan
kembali web
Pemda-Pemda saat ini yang tidak optimal sebagai basis komunikasi
UMKM di
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2011. Five Finger Philosophy:Upaya Memberdayakan UMKM,
(online),(http://www.bi.go.id/web/id/UMKMBI/Koordinasi/Filosofi+Lima+Jari/,dia
kses 3 oktober 2011)
BPS. 2011. Produk Domestik Bruto.
(online), (http://www.bps.go.id/index.php?news=730,
diakses 12 oktober 2011)
Djunaedi, Achmad. 2000. Pedoman Penulisan Tinjauan Pustaka. Yogyakarta : Pascasarjana UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar