PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pemerintah
Republik Indonesia
Nama : Ulifah Saty Merianty Herlina Siahaan
Npm : 37112521
Kelas : 2DB06
Universitas
Gunadarma
2014/2015
Agar
dapat mengetahui sistem pemerintahan Republik Indonesia
berdasarkan
UUD 1945 harus dimulai dengan mempelajari berbagai persiapan menjelang
kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sistem pemerintahan merupakan salah satu pokok
pembahasan yang diperdebatkan pada sidang yang dilakukan pada tanggal 29 Mei-1
Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Dalam sidang tanggal 31 Mei 1945 terdapat banyak
gagasan yang diajukan, dan pidato Soepomo termasuk mendapat paling banyak
perhatian karena gagasan yang
disampaikan
dalam pidato tersebut berkaitan dengan gagasan negara integralistik. Dalam
pidatonya Soepomo mengkehendaki adanya suatu jaminan bagi pimpinan negara
terutama Kepala Negara terus menerus bersatu dengan rakyat dan untuk menguatkan
pendapat itu Soepomo menghendaki susunan pemerintahan Indonesia harus dibentuk
sistem badan permusyawaratan. Pada rapat 1 Juni 1945, dengan alasan kapitalisme
yang merajalela Soekarno secara implisit menolak lembaga legislatif seperti
Amerika Serikat. Walaupun Soekarno mengkritik demokrasi model lembaga
legislatif di Amerika Serikat, namun bukan berarti Soekarno setuju dengan
praktik sistem pemerintahan parlementer. Dalam Rapat Besar saat menyampaikan
susunan kekuasaan pemerintahan pada tanggal 15 Juli 1945, Muh.Yamin mengusulkan
agar kementrian baik secara keseluruhan maupun perorangan bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan. Walaupun cenderung menolak sistem pemerintahan
parlementer, anggota BPUPK tidak menemukan pembahasan yang secara eksplisit
untuk menerima sistem pemerintahan presidensial. Pandangan yang ditemukan dalam
rapat tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia merdeka memerlukan pembentukan
pemerintah yang kuat. Atau dengan kata lain stabilitas merupakan syarat mutlak
untuk membangun sebuah negara baru. Bahkan ketika menyampaikan kesempatan
tentang rancangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada
15 Juli 1945, Soepomo menjelaskan bahwa Sistem
pemerintahan yang ditegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem
pemerintahan yang memberikan dominasi kekuasaan negara kepada pemerintah,
terutama kepada Kepala Negara, pertanggungjawaban dan pemusatan kekuasaan
berada di tangan Kepala Negara. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, sistem
pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia
disahkan oleh PPKI. Ada empat alasan pokok yang dijadikan referensi oleh para
pendiri bangsa dan pembentuk monstitusi memilih sistem pemerintahan
presidensial, yaitu :
1)
Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat, stabil, dan efektif untuk menjamin
keberlangsungan eksistensi negara Indonesia yang baru diproklamasikan. Para
pendiri bangsa meyakini bahwa model kepemimpinan negara yang kuat dan efektif
hanya dapat diciptakan dengan memilih sistem pemerintahan presidensial dimana
presiden tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara tetapi, sekaligus sebagai
kepala pemerintahan.
2)
Karena alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita negara
(staatsidee)
terutama cita negara integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang
BPUPK. Sistem pemerintahan presidensial diyakini amat kompatibel dengan paham
negara integralistik.
3)
Pada awal kemerdekaan presiden diberi kekuasaan penuh untuk
melaksanakan
kewenangan-kewenangan DPR, MPR, dan DPA. Pilihan
pada
sistem presidensial dianggap tepat dalam melaksanakan kewenangan yang luar
biasa itu. Tambah lagi, dengan sistem presidensial, presiden dapat bertindak
lebih cepat dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan pada masa teransisi.
4)
Merupakan simbol perlawananan atas segala bentuk penjajahan karena sistem
parlementer dianggap sebagai produk penjajahan oleh para pendiri bangsa. Sistem
pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang
disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia
yang pertama dan berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV, sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk maka segala kekuasaan Dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite
Nasional dengan tujuan agar mencegah terkonsentrasinya kekuasaan Presiden dan
Wakil Presiden serta membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam merumuskan arah
kebijakan pemerintah. Kabinet presidensial
dilantik
pada tanggal 2 September 1945 oleh Presiden Soekarno. Berdasarkan UUD 1945
Pasal IV Aturan Peralihan, 50 orang KNIP kemudian mengeluarkan memorandum yang
berisi : pertama, mendesak Presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya
untuk segera membentuk MPR dan kedua, sebelum MPR terbentuk
hendaknya anggota KNIP dianggap sebagai MPR. Atas desakan
tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat
Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang berbunyi :
“Komite
Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat diserahi kekuatan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis
Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari
berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilih diantara mereka yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat”.
Materi
maklumat tersebut dimaksudkan untuk menindaklanjuti UUD 1945 Pasal IV Aturan
Peralihan yang memberi kekuasaan sangat besar
kepada Presiden untuk melaksanakan tugas dan wewenang tiga lembaga negara (MPR,
DPR, DPA) sebelum ketiga lembaga negara tersebut terbentuk menurut UUD.
Besarnya kekuasaan Presiden dikarenakan kedudukan KNIP
hanya sebagai pembantu yang berarti bekerja hanya atas perintah Presiden.
Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, KNIP diserahi kekuasaan legislatif,
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta tugas-tugas yang
berhubungan dengan Keadaan negara yang genting. Maklumat ini juga berisi
pembentukan satu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat. Dengan
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi
perubahan UUD 1945 khususnya Pasal IV Aturan Peralihan yaitu kekuasaan Presiden
atas MPR, DPR, dan DPA. Dengan dikeluarkannya Maklumat ini kekuasaan legislatif
yang semula dipegang oleh Presiden dipegang oleh KNIP. Yang menjadi dasar Hukum
dikeluarkannya Maklumat ini adalah Pasal 37 UUD 1945, Pasal IV Aturan Peralihan
UUD 1945. Pasal 37 menyatakan perubahan UUD dilakukan oleh MPR tetapi karena
MPR pada saat itu belum terbentuk maka berdasar Pasal IV Aturan Peralihan,
kekuasaan MPR dipegang oleh Presiden bersama dengan Komite Nasional Pusat.
Dengan demikian syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dalam mengeluarkan
Maklumat Wakil Presiden, meskipun yang mengumumkan wakil presiden namun beliau bertindak
mewakil lembaga kepresidenan.65 Apalagi Presiden Soekarno tidak pernah
mempersoalkan dikeluarkannya Maklumat tersebut. Kekuasaan Presiden mulai
mengalami perubahan untuk kedua kalinya dengan dikeluarkannya Maklumat
Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 Tentang Susunan
dan Pembentukan Kabinet II yang menegaskan bahwa tanggung jawab
ada di tangan menteri. Dengan dikeluarkannya maklumat ini, terjadi perubahan
sistem kabinet dalam UUD 1945 dari kabinet presidensial menjadi kabinet
parlementer. Isi Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 antara lain
menyatakan : Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang
hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa
bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan
macammacam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan
demokrasi yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu
ialah pertanggungjawaban adalah ditangan Menteri. Maklumat ini kemudian
dikuatkan oleh KNIP dalam sidang ke III tanggal 25-27 Nopember dengan
membenarkan kebijakan Presiden tentang kedudukan Perdana Menteri dan anggota
kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak dilarang UUD
dan diperlukan dalam situasi sekarang. Dengan adanya perubahan tersebut lingkup
kekuasaan Presiden juga mengalami perubahan karena kepala pemerintahan berada
ditangan Perdana Menteri bersama anggota kabinet lainnya. Menurut Ismail Suny,
maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari Presiden kepada Perdana
Menteri. Posisi kepala negara dipegang oleh Presiden,
sedangkan kepala eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri bersama seluruh
anggota kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama Bertanggungjawab
kepada KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menindaklanjuti
Maklumat 14 Nopember 1945 ini, maka dibentuk kabinet parlementer I dan menunjuk
Sultan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Namun kabinet ini berhenti pada 12 Maret
1946 dikarenakan adanya oposisi yang kuat dan dari lawan politiknya yaitu
Persatuan Perjuangan, suatu koalisi partai partai dan golongan-golongan di luar
Badan Pekerja atau Komite Nasional Pusat. Setelah itu Kabinet Parlementer II
dibentuk dengan Perdana Menteri yang sama, yaitu Sutan Syahrir (periode 12 Maret
1946 sampai 2 Oktober 1946). Kekuasaan pemerintahan pada masa ini diambil alih
oleh Presiden Soekarno ketika terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir
oleh kelompok Persatuan Perjuangan. Kabinet terus dipimpin oleh Presiden
Soekarno sampai pada tanggal 2 Oktober 1946 dan setelah Sutan Syahrir
dibebaskan, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai formatur kabinet. Pada
tanggal 2 Oktober
1946 Kabinet Parlementer III dibentuk. Sultan Syahrir terpilih kembali menjadi
perdana menteri tetapi karena Sutan Syahrir tidak mampu menghadapi Amir
Syarifuddin dari Partai Sosialis Kiri, akhirnya Sutan Syahrir mengembalikan
mandat kepada Presiden Soekarno pada tanggal 3 Juli 1947. Akhirnya kekuasaan
diambil alih oleh presiden sampai terbentuknya Kabinet Parlementer yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Namun kabinet ini tak lama
kemudian kebinet ini di reshuffle dan kabinet Parlementer ini dikenal dengan
Kabinet Parlementer dengan Perdsana Menteri Amir Syarifuddin periode II. Pada
masa ini keluar Maklumat Presiden No. 2 Tahun 1948 pada tanggal 23 Januari yang
isinya membubarkan kabinet Amir II. Pembubaran ini dikarenakan kegagalan Amir
dalam perundingan Renville dan pada tanggal itu juga presiden menunjuk
Moh.Hatta (Wakil Presiden) sebagai
formatur kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948 akhirnya terbentuklah kabinet baru
yaitu kabinet Hatta (Hatta I) yang merupakan Kabinet Presidensial.72 Namun, menurut
Bibit Soeprapto kabinet Hatta bukan merupakan kabinet parlementer yang murni
seperti Kabinet Syahrir dan Kabinet Amir Syarifudin karena yang menjadi perdana
menteri adalah Moh.Hatta (wakil Presiden), tetapi juga bukan sebagai kabinet
presidensial yang murni seperti kabinet presidensial karena pertanggungjawaban
para menteri kepada Badan Pekerja (parlemen) dan bukan kepada Presiden. Pada
tanggal 19 Desember 1948 sampai tanggal 13 Juli 1949, kekuasaan pemerintahan
dijalankan oleh Kabinet darurat dengan Ketua/Perdana Menteri Mr.Syarifuddin
Prawiranegara. Kekuasaan diserahkan kembali setelah presiden dan wakil presiden
kembali ke Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar