D.
Masa Berlaku Kembali
UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
1.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Penetapan Kembali UUD 1945
Kembalinya
negara Indonesia dari bentuk federal menjadi negara kesatuan tentunya
membutuhkan adanya Undang-Undang Dasar untuk negara kesatuan tersebut.
Keputusan yang diambil pada saat itu bahwa Undang-undang Dasar untuk negara
kesatuan Republik Indonesia akan dibuat secepatnya oleh sebuah Konstituante
setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat. Dalam penantian lahirnya
Undang-undang Dasar Permanan yang sedang dibuat Konstituante
tersebut
ditetapkanlah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante
sebagai pembentuk Undang-undang Dasar tersebut berdasarkan ketetentuan dalam
UUD Sementara 1950, Pasal 134-139. Pasal 134 UUD Sementara 1950 berbunyi : ”Konstituante
(sidang pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini”. Dari ketentuan tersebut maka
Undang undang
Sementara
berlaku hanya sementara waktu, dan Konstituante memilki
tugas
untuk membuat Undang-undang Dasar yang berlaku permanen.
Pemilihan
untuk memilih anggota Konstituante dilakukan pada bulan
Desember
1955 dan pada tanggal 10 Nopember 1956 adalah hari pelantikan dan sidang
pertama Konstituante. Namun setelah bekerja sekitar dua tahun, Konstituante
tidak berhasil merumuskan Undang-undang Dasar baru, walaupun telah dicapai
kesepakatan mengenai banyak hal, antara lain wilayah, sistem pemerintahan, dan
hak-hak azasi, tetapi mengenai untuk dasar negara sangat sulit untuk mencapai
kesepakatan. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik dan banyaknya partai yang
memiliki garis politik berbeda. Tercatat setelah pemilihan umum dilaksanakan
pada tahun 1955 terdapat 35 fraksi dalam badan Konstituante. Perbedaan garis
politik terjadi dalam Konstituante terbagi menjadi dua fraksi yaitu golongan
nasionalis Islam dan golongan nasional sekuler. Golongan nasionalis Islam
menghendaki negara berdasar Islam karena umat Islam merupakan masyarakat
mayoritas, sedangkan golongan nasionalis sekuler menghendaki negara kebangsaan
dengan dasar Pancasila karena negara ini terdiri dari banyak elemen atau ikatan
pramordial yang berbeda-beda. Pertentangan pandangan mengenai dasar negara
terjadi dalam sidang Konstituante sehingga sulit untuk dipertemukan. Untuk
mencari solusi dari pertentangan tersebut, akhinya dalam sidang Konstituante
pada 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante
yang memuat anjuran Kepala Negara dan pemerintah untuk kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945. Amanat Presiden tersebut diperdebatkan dalam satu
pemandangan umum dalam Konstituante yang bersidang pada 21 April sampai 13 Mei
1959 serta tanggal 16 Mei sampai 26 Mei 1959. Tetapi setelah terjadi tanya
jawab antara pemerintah dengan Konstituante tentang amanat tersebut ternyata
tidak membuahkan hasil. Akhirnya karena Konstituante gagal dalam merumuskan
Undang-Undang Dasar, maka dengan pertimbangan demi keselamatan negara dan
bangsa, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melalui Keputusan
Presiden Nomor 150 Tahun 1959 menetapkan97 :
1.
Pembubaran Konstituante
2.
Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit
ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3.
Pembentukan Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-simgkatnya. Dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka saat itu pula kembali berlaku Undang-Undang
Dasar 1945 termasuk Aturan Peralihan. Konstituante dibubarkan sehingga untuk
mengisi kekosongan tugas-tugas legislatif, segera dibentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1959 dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan Penetapan Presiden
Nomor 3 Tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945. Perubahan yang mendasar dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli adalah Perubahan sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke sistem
presidensial.
2.
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen UUD
1945
Untuk
mengetahui sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945 dapat diketahui
dengan menelusuri pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945 dalam bagian umum tentang
pokok-pokok sistem pemerintahan. Karakter sistem pemerintahan dapat dilihat
dari :
1. Pasal 1 Ayat (2) : Kedaulatan adalah
di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR ini menetapkan UUD dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara. MPR bertugas mengangkat Kepala Negara
(Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR memegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah
ditetapkan
oleh MPR. Presiden yanng diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab
kepada MPR. Presiden ialah mandataris MPR, ia wajib menjalankan putusan-putusan
MPR. Pasal ini menentukan bahwa kedaulatan adalah ditangan Rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ini berarti bahwa menurut hukum, kekuasaan yang
tertinggi adalah di tangan Rakyat. Kekuasaan
tertinggi
yang ada di tangan rakyat ini sebenarnya hanya merupakan asasnya saja, sebab
kekuasaan tersebut sepenuhnya yang melakukan adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah penjelmaan daripada rakyat, oleh
karena itu keputusannya adalah dianggap sebagai keputusan rakyat. Sebagai
pelaksana sepenuhnya daripada kedaulatan, Majelis ini memiliki
kekuasaan
yang tertinggi dalam sistem Ketatanegaraan Undang Undang Dasar 1945. Tidak ada
suatu badan lain (kecuali rakyat seluruhnya) mempunyai kekuasaan yang tertinggi
berwenang menentukan segalanya, walaupun didalam bekerjanya tentu saja harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, sebab justru
Undang-Undang Dasar inilah yang memberikan kekuasaan kepadanya. Namun, MPR
adalah satu badan yang besar sehingga tidak mungkin melaksanakan seluruh
kekuasaannya itu, maka MPR menyerahkan lagi kekuasaannya kepada lembaga-lembaga
yang ada dibawahnya. Dalam hal ini lembaga-lembaga yang terletak langsung di
bawah MPR adalah Presiden, DPR, DPA, MA, BPK. Dengan adanya Lembaga-lembaga
Tinggi Negara itu menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menampung
kekuasaan agar bisa dilaksanakan, yang sebenarnya merupakan kekuasaan MPR
karena MPR sendiri menerima kekuasaan itu dari rakyat.
Singkatnya
seluruh macam kekuasaan tersebut terletak di tangan MPR tetapi MPR melimpahkannya
lagi kepada-kepada lembaga lembaga yang ada dibawahnya, yakni :
a.
Kekuasaan Eksekutif kepada Presiden
b.
Kekuasaan Legislatif kepada Presiden dan DPR
c.
Kekuasaan yudikatif kepada Mahkamah Agung dan untuk sebagian kecil diserahkan
kepada Presiden.
d.
Kekuasaan Pemerikasaan Keuangan Negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan
e.
Kekuasaan menasehati Eksekutif kepada DPA. Lembaga-lembaga tinggi negara
tersebut adalah merupakan pemegang kekuasaan yang diambil dan dibagi dari
kekuasaan MPR. Dengan maka adanya lembaga tertinggi dan lembaga tinggi
negarayang merupakan penjelmaan adanya aparatur demokrasi di tingkat pusat yang
berpucuk kepada DPR.
2. Pasal 4 Ayat (1) : Presiden memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Ayat (2) : Dalam melakukan
kewajibannya Presiden di bantu oleh satu orang Wakil Presiden.
3. Pasal
5 Ayat (1) : Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR. Ayat (2) : Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan hal itu pasal
20 ayat (1) menentukan, bahwa tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (2) menentukan, bahwa jika sesuatu
rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 21 ayat (1) menentukan, bahwa anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan Undang-undang. Pasal 21 ayat
(2) menentukan, bahwa jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh dewan
Perwakilan rakyat tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
4. Pasal
6 : Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
5. Pasal
7 menentukan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
6. Pasal
10 : Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara. Pasal 11 : Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain. Pasal 12 : Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 Ayat (1) :
Presiden mengangkat duta dan konsul. Ayat (2) : Presiden
menerima
duta negara lain. Pasal 14 : Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi. Pasal 15 : Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda
kehormatan. Pasal 17 ayat (1) : Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Ayat (2) : Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri
tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukan Presiden tidak bergantung dari
pada DPR tetapi bergantung Presiden.
7. Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR. Disampingnya Presiden adalah DPR. Presiden harus mendapat
persetujuan DPR untuk membentuk undangundang dan untuk menetapkan anggaran
pedapatan dan belanja negara. Oleh karena itu Presiden harus bekerja
bersama-sama dengan DDPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR, artinya kedudukan Presiden tidak
bergantung
daripada Dewan.
8. Kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak
dapat dibubarkan oleh Presiden seperti halnya yang dilakukan dalam sistem
parlementer
Berdasarkan
aturan yang termuat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya maka dapat disimpulkan
bahwa sistem pemerintahan Indonesia tidak sepenuhnya menganut karakter sistem
presidensial tetapi juga menganut sistem parlementer.Karakter sistem
presidensial terlihat dari :
1.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang
Dasar (Pasal 4 ayat (1)). Hal ini diperjelas lagi dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden ialah Kepala Kekuasaan Eksekutif
dalam negara. Kemudian di dalam penjelasan umum angka IV disebutkan bahwa
Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.Biasanya
pada negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, selain
menjadi Kepala Pemerintahan, Presiden berfungsi pula sebagai Kepala Negara.
Memang didalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak didapatkan
keterangan bahwa presiden merupakan Kepala Negara. Walaupun demikian, dasar
konstitusional Presiden merupakan Kepala Negara
dapat
ditemui didalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap Pasalpasal 10, 12,
13, 14, dan 15 yang menyebutkan bahwa, Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam
pasal-pasal ini, ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala
Negara dan didalam penjelasan tentang MPR disebutkan bahwa Majelis mengangkat
Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Presiden
Negara Republik Indonesia yang berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan memiliki kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut :
a.
Kekuasaan Legislatif (Pasal 5 dan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945).
b.
Kekuasaan Administratif (Pasal 15 dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945).
c.
Kekuasaan Eksekutif (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
d.
Kekuasaan Militer (Pasal 10, 11, 12 Undang-Undang Dasar 1945).
e.
Kekuasaan Yudikatif (Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945).
f.
Kekuasaan Diplomatik (Pasal 13 Undang-Undang Dasar 1945).
2.
Adanya masa jabatan yang tetap (fix term) yaitu selama 5 tahun.
3.
Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri tidak
bertanggung jawab kepada DPR tetapi kepada Presiden. DPR tidak dapat membubarkan
Menteri-menteri dan demikian juga sebaliknya. Karakter sistem pemerintahan
parlementer dalam UUD 1945 dilihat dari
1.
Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan
oleh MPR. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem
supremasi parlemen yang merupakan karakter sistem pemerintahan parlementer
karena sistem kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Maksudnya ialah
bahwa sistem kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia
pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Selanjutnya MPR mendistribusikan kewenangannya kelembaga-lembaga
negara lainnya kepada Presiden, DPR, DPA, MA, BPK.
2.
Pasal 6 Ayat (2) : Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Dalam sistem presidensial Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat atau badan pemilih di Amerika Serikat. Pemilihan Presiden yang
dipilih melalui badan perwakilan (dalam hal ini MPR) merupakan karakter sistem
pemerintahan parlementer.
3.
Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Dalam sistem pemerintahan presidensial
Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen tetapi bertanggung jawab
langsung kepada rakyat. Ketentuan pertanggung jawaban Presiden kepada MPR dan
bukan langsung kepada rakyat merupakan karakter sistem pemerintahan
parlementer.
4.
Tidak adanya pemisahan kekuasaan antara ekskutif dan legislatif secara tegas. Hal
ini terlihat dari Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR dan berkaitan dengan pasal
tersebut yaitu Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap undang-undang mengkehendaki
persetujuan DPR. Dari pasal ini dapat disimpulakn bahwa UUD 1945 tidak menganut
paham pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti dalam sistem
pemerintahan presidensial melainkan menganut prinsip pembagian
kekuasaan
(distribution of power) seperti dalam sistem parlementer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar